Kendaraan listrik (electric vehicle atau EV) telah menjadi topik hangat dalam diskusi tentang masa depan transportasi dan dampaknya terhadap ekonomi. Namun, di tengah pertanyaan tentang keberlanjutan lingkungan, sering kali terabaikan pertanyaan krusial: Apakah kendaraan listrik membantu atau justru merugikan ekonomi?
Pertama-tama, kita harus memahami bahwa kendaraan listrik secara luas dianggap membantu lingkungan. Dalam hal emisi karbon, kendaraan listrik memiliki jejak karbon yang jauh lebih rendah daripada kendaraan konvensional dengan mesin bensin atau diesel.
Namun, dampak positif ini tergantung pada bagaimana listrik yang digunakan untuk mengisi daya kendaraan tersebut dihasilkan. Jika listrik berasal dari sumber energi terbarukan seperti tenaga surya atau angin, maka dampaknya akan jauh lebih positif daripada jika listrik berasal dari pembangkit listrik berbahan bakar fosil.
Namun, pertanyaan tentang dampak ekonomi kendaraan listrik memunculkan sejumlah perdebatan. Beberapa pemerintah Barat, misalnya, telah mengurangi komitmen terhadap kendaraan listrik karena khawatir dampaknya terhadap inflasi, hilangnya lapangan pekerjaan di sektor industri tradisional, dan meningkatnya utang publik.
Jerman, yang terkenal dengan pendekatannya yang konservatif dalam kebijakan fiskal, bahkan memotong subsidi untuk kendaraan listrik secara prematur pada bulan Desember.
Hal ini menunjukkan bahwa ketika suatu produk atau teknologi dianggap dapat merugikan ekonomi, dukungan publik terhadapnya bisa berkurang seiring dengan pertumbuhannya. Kendaraan listrik, yang dianggap membantu lingkungan namun memiliki potensi risiko ekonomi, menjadi objek perhatian dalam peralihan dari bahan bakar fosil ke energi hijau.
Transisi energi yang terjadi saat ini tidak dapat disamakan dengan transisi energi sebelumnya, seperti penggantian kayu dengan batu bara atau batu bara dengan minyak. Kali ini, kebijakan publik mendahului perkembangan teknologi, mengubah biaya lingkungan menjadi biaya ekonomi. Hasilnya adalah apa yang disebut oleh ekonom sebagai “kejutan pasokan”.
Namun, ada harapan bahwa inovasi akan menyelamatkan situasi ini. Berkembangnya teknologi baterai, jaringan listrik yang lebih canggih, dan cara yang lebih pintar untuk mengatur pasokan dan permintaan energi dapat mengurangi kelebihan dalam sistem energi yang mencampur energi terbarukan dengan bahan bakar fosil.
Biaya baterai kendaraan listrik juga telah merosot selama satu dekade terakhir, terutama karena investasi besar-besaran dari China.
Seiring dengan kemajuan ini, kendaraan listrik semakin mendekati tingkat paritas biaya dengan kendaraan konvensional. China, misalnya, sudah tampaknya mencapai tingkat tersebut, bahkan menggelar perang harga untuk kendaraan listriknya. Ini menunjukkan bahwa kendaraan listrik dapat menjadi pilihan yang lebih ekonomis, bukan hanya bagi lingkungan, tetapi juga untuk kantong konsumen.
Namun, ada juga tantangan yang perlu diatasi. Transisi energi akan mempengaruhi negara-negara secara berbeda, dan produsen bahan bakar fosil mungkin kehilangan keunggulan mereka. China, dengan kepemimpinannya dalam industri hijau, bisa menjadi salah satu pihak yang diuntungkan dari pertumbuhan kendaraan listrik. Ini menimbulkan pertanyaan tentang ketidakseimbangan kekuatan geopolitik global.
Akhirnya, perlu diingat bahwa evaluasi dampak ekonomi teknologi hijau seperti kendaraan listrik bisa jadi rumit. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi jika kita tidak mengambil tindakan dalam menghadapi perubahan iklim. Namun, perlu diakui bahwa investasi dalam energi hijau masih belum sepenuhnya didanai secara pribadi, menunjukkan bahwa masih ada keraguan tentang keuntungan ekonomi yang dapat diperoleh.
Dalam hal ini, hanya inovasi yang dapat memecahkan dilema ini. Ketika kendaraan listrik tidak hanya ramah lingkungan, tetapi juga lebih hemat biaya daripada kendaraan konvensional, itulah saat ketika mereka juga dapat membantu ekonomi.