Mengapa rupiah melemah terus menerus? Pengamat politik ekonomi Indonesia Ichsanuddin Noorsy, dalam YouTube channel Refly Harun Podcast, menyampaikan pandangannya mengenai penyebab pelemahan terus-menerus Rupiah terhadap Dolar AS (USD). Beliau memberikan analisis mendalam yang mencakup berbagai aspek struktural dalam ekonomi Indonesia.
Latar Belakang Pelemahan Rupiah
Menurut Ichsanuddin Noorsy, Rupiah melemah disebabkan oleh masalah struktural dalam sektor moneter dan fiskal Indonesia. Ia menyatakan bahwa ekonomi Indonesia belum mampu mengimbangi ekonomi AS karena beberapa alasan mendasar.
Salah satu alasan utama adalah ketergantungan Indonesia pada kebijakan ekonomi terbuka, yang membuat negara ini rentan terhadap guncangan eksternal. Kebijakan ini membuat Indonesia terlalu bergantung pada investasi asing dan teknologi luar negeri, sehingga mengurangi kemampuan ekonomi domestik untuk berkembang secara mandiri.
Rupiah melemah terhadap dolar AS artinya nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS menurun sehingga diperlukan lebih banyak Rupiah untuk membeli satu Dolar AS. Ini menunjukkan bahwa Rupiah mengalami depresiasi. Penyebabnya bisa beragam, termasuk ketidakstabilan ekonomi domestik, defisit perdagangan, inflasi tinggi, dan penurunan cadangan devisa. Dampaknya, barang impor menjadi lebih mahal, meningkatkan biaya hidup dan inflasi.
Di sisi lain, penjualan luar negeri (ekspor) berpotensi lebih kompetitif karena harga produk lebih terjangkau di pasar internasional. Namun, pelemahan Rupiah juga bisa mengindikasikan masalah struktural dalam ekonomi, seperti ketergantungan pada investasi asing dan kurangnya kepercayaan pasar terhadap kebijakan ekonomi pemerintah. Mengatasi pelemahan ini memerlukan kebijakan ekonomi yang kuat dan transparan serta upaya untuk meningkatkan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi domestik.
Kritik terhadap Pemerintah
Ichsanuddin secara tegas mengkritik pemerintah Indonesia karena tidak menangani akar penyebab ketidakstabilan ekonomi, seperti korupsi dan kurangnya transparansi. Ia menyampaikan kekecewaannya terhadap kinerja ekonomi pemerintahan saat ini, dengan menggunakan indikator seperti kerentanan eksternal untuk menilai keberhasilan atau kegagalannya.
Kerentanan eksternal ini ditandai dengan penurunan signifikan cadangan devisa, yang membuat Rupiah semakin rentan terhadap tekanan dari luar. Selain itu, Ichsanuddin juga menyebutkan bahwa ekonomi Indonesia telah mengalami invasi modal dan teknologi asing akibat kebijakan ekonomi pasar bebas yang liberal. Ia mengkritik kebijakan ini karena menyebabkan intervensi, infiltrasi, dan intimidasi terhadap ekonomi domestik.
Kerentanan Eksternal dan Indikator Ekonomi
Ichsanuddin menjelaskan bahwa kemampuan Indonesia untuk membayar utang dan menutup pembayaran impor sangat terbatas, yang ia sebut sebagai kerentanan eksternal. Nilai tukar Rupiah terus menurun, dengan depresiasi mencapai 8,6%. Hal ini menjadi masalah serius karena nilai Rupiah terhadap Dolar AS tidak pernah pulih sepenuhnya.
Dua indikator utama dari kerentanan eksternal yang dibahas oleh Ichsanuddin adalah meningkatnya kredit macet (non-performing loans) dan masalah kredit. Kredit macet telah meningkat dari 2,88% menjadi 3%, menyebabkan banyak bisnis, terutama usaha kecil dan menengah, mengalami kesulitan dalam membayar pinjaman mereka.
Ini disebabkan oleh menurunnya daya beli Rupiah, yang telah menjadi perhatian sejak tahun 2015. Meskipun beberapa ekonom menyangkal penurunan daya beli ini, data menunjukkan sebaliknya.
Ketidakefektifan Kebijakan APBN
Ichsanuddin juga mengkritik ketidakefektifan program APBN dalam pemulihan ekonomi. Menurutnya, daya beli korporasi sangat penting dalam menentukan paritas daya beli (PPP) suatu negara.
Selain itu, ia juga membahas rasio Gini, yang mengukur ketimpangan pendapatan, dan hubungannya dengan kinerja ekonomi suatu negara. Ichsanuddin menekankan bahwa arah politik dan ekonomi Indonesia harus selaras dengan prinsip-prinsip Pancasila untuk menciptakan ekonomi yang kuat.
Pentingnya Data Akurat dalam Kebijakan Ekonomi
Salah satu poin penting yang disampaikan oleh Ichsanuddin adalah pentingnya penggunaan data yang akurat dan terkini dalam pembuatan kebijakan ekonomi. Ia mengkritik penggunaan data yang sudah usang dan tidak akurat, seperti koefisien Gini yang sering dikutip, yang menurutnya tidak mencerminkan situasi saat ini. Penggunaan data yang tidak akurat ini dapat mengarah pada kebijakan yang tidak efektif dan berdampak negatif bagi populasi.
Ichsanuddin juga menyinggung tentang “torture simbolik”, yang terjadi ketika kebijakan didasarkan pada data yang tidak akurat, mengakibatkan konsekuensi negatif bagi masyarakat. Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya data yang akurat dan terkini untuk membuat kebijakan ekonomi yang efektif.
Defisit Perdagangan dan Kemiskinan
Ichsanuddin juga membahas defisit perdagangan yang terus-menerus antara Indonesia dan AS, yang telah menyebabkan peningkatan kemiskinan dan pengangguran di Indonesia. Ia mengkritik penggunaan indikator ekonomi tertentu, seperti tingkat kemiskinan yang diukur oleh Bank Indonesia, yang menurutnya menyesatkan karena standar yang terlalu rendah. Ia juga mengkritik teori ekonomi trickle-down dan prioritas yang diberikan pada keuntungan korporat dibandingkan pembangunan domestik.
Menurut Ichsanuddin, pemikiran ekonomi Indonesia tertinggal dibandingkan dengan negara lain, terutama AS. Ia menyerukan adanya pergeseran menuju pemikiran ekonomi yang baru dan mengkritik teori ekonomi arus utama yang lebih mengutamakan ekonomi moneter.
Analisis Human Development Index (HDI)
Ichsanuddin menyebutkan bahwa Indeks Pembangunan Manusia (HDI) di Indonesia telah meningkat dari 71.3 menjadi 72.91, namun Indonesia masih berada pada peringkat rendah di antara negara-negara G20. Ia juga menyinggung tentang pembangunan infrastruktur, termasuk pelabuhan dan infrastruktur lainnya, yang menurut beberapa pihak telah berhasil.
Namun, meskipun ada peningkatan dalam pembangunan infrastruktur, Ichsanuddin menyatakan bahwa utang negara telah meningkat secara signifikan dari 2.608 triliun menjadi 6.160 triliun rupiah, dengan rasio utang terhadap PDB menurun dari 34% menjadi 30.13%. Neraca perdagangan dan neraca keuangan negara masih negatif.
Dalam sektor bisnis, pertumbuhan kredit sektor swasta dari 2015 hingga 2021 mencapai 23.68%, sementara rata-rata pertumbuhan tahunan nilai tambah dari investasi hanya 3.38%. Ia juga mengkritik pemerintah karena menerbitkan obligasi dengan suku bunga negatif 6.84%.
Pendanaan Infrastruktur dan Dampaknya
Ichsanuddin menjelaskan bahwa dalam pendanaan infrastruktur di APBN/APBD RPJMN 2015-2019, BUMN memegang 41.25% dari total pendanaan, diikuti oleh korporasi swasta sebesar 36.52%. Namun, dengan penurunan peran APBN sebesar 10% dalam RPJMN 2020-2024, peran BUMN juga menurun sebesar 5.56%, sementara peran korporasi swasta meningkat menjadi 42%.
Ia berargumen bahwa pergeseran ini menuju model korporasi untuk pembangunan infrastruktur akan mengarah pada pertimbangan komersial yang mendikte harga infrastruktur, yang berpotensi membuatnya kurang terjangkau bagi publik.
Ichsanuddin juga menyebutkan bahwa nilai Rupiah terhadap mata uang lain seperti Yuan dan Rubel dapat memengaruhi stabilitas ekonomi Indonesia.
Simpulan
Dari analisis yang diberikan oleh Ichsanuddin Noorsy, jelas bahwa pelemahan Rupiah (IDR) terhadap Dolar AS (USD) disebabkan oleh berbagai masalah struktural dalam ekonomi Indonesia. Ketergantungan pada kebijakan ekonomi terbuka, tidak adanya penanganan terhadap akar masalah seperti korupsi dan kurangnya transparansi, serta penggunaan data yang tidak akurat adalah beberapa faktor utama yang memengaruhi stabilitas ekonomi Indonesia.
Ichsanuddin menekankan pentingnya menyelaraskan arah politik dan ekonomi dengan prinsip-prinsip Pancasila, serta pentingnya data yang akurat dalam pembuatan kebijakan ekonomi. Selain itu, ia juga mengkritik kebijakan ekonomi yang lebih mengutamakan keuntungan korporat dibandingkan pembangunan domestik.
Dengan pemikiran ekonomi yang baru dan lebih fokus pada pembangunan domestik yang berkelanjutan, Indonesia dapat memperbaiki stabilitas ekonominya dan mengurangi kerentanan terhadap guncangan eksternal. Hal ini penting untuk menciptakan masa depan ekonomi yang lebih tangguh dan berkelanjutan bagi Indonesia.