Pada perdagangan Rabu (14/8/2024), nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali menunjukkan performa yang mengesankan. Rupiah menguat sebesar 0,83%, ditutup pada level 15.604 setelah sempat menyentuh titik tertinggi hari itu di 15.543. Ini merupakan level terkuat rupiah dalam hampir lima bulan terakhir, sejak 21 Maret 2024.
Penguatan ini terjadi di tengah optimisme pasar menyusul rilis data inflasi produsen (Producer Price Index/PPI) yang menunjukkan tren perlambatan, serta ekspektasi menjelang rilis data inflasi konsumen AS (Consumer Price Index/CPI) yang baru saja diumumkan.
Penurunan Tekanan Inflasi AS Picu Optimisme Pasar
Data PPI AS yang dirilis sebelumnya menunjukkan kenaikan tipis sebesar 0,1% secara bulanan pada Juli, lebih rendah dari kenaikan 0,2% pada Juni. Secara tahunan, PPI meningkat 2,2% hingga Juli, melambat dibandingkan dengan kenaikan 2,7% pada bulan sebelumnya. Perlambatan ini mencerminkan penurunan tekanan inflasi di sektor produsen, yang menjadi angin segar bagi investor yang berharap inflasi dapat terkendali.
Sektor jasa menjadi kontributor utama dalam perlambatan inflasi ini, dengan penurunan harga sebesar 0,2%, terutama di margin perdagangan yang mengalami penurunan terbesar sejak Februari 2015, yakni sebesar 1,3%. Data ini memperkuat keyakinan pasar bahwa tekanan inflasi yang lebih rendah akan memberikan ruang bagi bank sentral AS (The Fed) untuk mempertimbangkan pemangkasan suku bunga dalam pertemuan kebijakan moneter mendatang.
Investor Menyikapi Rilis CPI yang Sesuai Perkiraan
Data CPI AS yang baru saja dirilis menunjukkan inflasi konsumen melandai sesuai dengan perkiraan pada Juli 2024. Indeks harga konsumen (CPI), sebagai ukuran harga barang dan jasa secara luas, meningkat hanya 0,2% untuk Juli 2024, sehingga tingkat inflasi tahunan kini berada di level 2,9%.
Ekonom yang disurvei oleh Dow Jones sebelumnya memprediksi angka masing-masing sebesar 0,2% dan 3%, dan hasil yang sesuai ini memperkuat ekspektasi bahwa The Fed mungkin akan memangkas suku bunga pada September 2024.
Inflasi yang naik 0,2% pada Juli 2024 didorong oleh biaya terkait perumahan. Laporan dari Departemen Tenaga Kerja AS menyebutkan bahwa kenaikan biaya tempat tinggal sebesar 0,4% bertanggung jawab atas 90% dari keseluruhan kenaikan inflasi. Selain itu, harga makanan juga naik 0,2%, sementara harga energi tetap datar.
Tidak termasuk makanan dan energi, CPI inti naik 0,2% secara bulanan dan 3,2% secara tahunan, yang juga sesuai dengan ekspektasi ekonom. Tingkat tahunan tersebut adalah yang terendah sejak Maret 2021, sementara inflasi inti berada di level terendah sejak April 2021. Dengan inflasi yang secara bertahap kembali ke target bank sentral sebesar 2%, tekanan untuk melonggarkan kebijakan moneter semakin besar.
Meskipun inflasi makanan secara keseluruhan lemah pada bulan tersebut, beberapa kategori mengalami kenaikan yang signifikan, seperti harga telur yang melonjak 5,5%. Sementara itu, harga serealia dan roti turun 0,5%, dan harga susu serta produk terkait turun 0,2%.
Dampak Terhadap Kebijakan The Fed dan Pasar Keuangan
Kontrak berjangka pasar saham sedikit negatif setelah laporan tersebut dirilis, sementara imbal hasil (yield) pemerintah AS alias US Treasury sebagian besar bergerak lebih tinggi. Meskipun inflasi melandai, pasar tetap berhati-hati, mengingat kemungkinan penurunan suku bunga oleh The Fed pada pertemuan September mendatang.
Harga pasar berjangka saat ini menunjukkan peluang yang hampir sama untuk pengurangan suku bunga sebesar 25 atau 50 basis poin (bps) pada pertemuan 17-18 September 2024. Bahkan, beberapa ekonom memperkirakan bahwa rentang penurunan suku bunga bisa mencapai setidaknya satu poin persentase penuh atau 100 bps pada akhir 2024.
Dengan inflasi yang mereda, kekhawatiran mengenai melambatnya pasar tenaga kerja menjadi semakin menonjol. Faktor ini juga diperkirakan akan mendorong The Fed untuk mulai memangkas suku bunga untuk pertama kalinya sejak krisis pandemi Covid-19. Liz Ann Sonders, kepala strategi investasi di Charles Schwab, mengatakan bahwa meskipun inflasi turun, area yang sulit tetap menjadi tantangan, menggambarkan kondisi ekonomi yang masih rapuh.
Penguatan rupiah yang terjadi saat ini memberikan sinyal positif bagi perekonomian Indonesia, namun tetap diperlukan kewaspadaan dalam menghadapi perkembangan kebijakan moneter global yang dapat berdampak signifikan terhadap stabilitas ekonomi dalam negeri.