Istilah hukum waris dalam konteks Islam merujuk pada suatu sistem aturan yang digariskan untuk mengatur proses transfer atau alih kepemilikan harta dari individu yang telah meninggal kepada pihak atau keluarga yang disebut sebagai ahli waris.
Kitab undang-undang Islam, pasal 171, menjelaskan hak waris sebagai hukum yang dirancang untuk mengatur transfer kepemilikan harta benda kepada ahli waris dan menentukan siapa yang berhak menerima, menjadi ahli waris, dan jumlah saham yang dimiliki oleh masing-masing ahli waris.
Pentingnya hukum waris Islam terletak pada regulasi pembagian warisan, termasuk penentuan ahli waris, jumlah saham yang diterima oleh masing-masing ahli waris, jenis harta yang diwariskan, serta harta warisan yang akan diterima oleh ahli waris.
Dalam banyak dokumen mengenai hukum waris Islam, Al-Qur’an diakui sebagai dasar utama yang memberikan landasan hukum untuk pembagian warisan. Meskipun Al-Qur’an hanya memberikan sedikit ayat yang merinci hukum, khususnya berkaitan dengan waris, aturan waris biasanya diperoleh dari hadits yang diterbitkan oleh Rasulullah SAW.
Di Indonesia, hukum waris Islam diatur oleh Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang disesuaikan dengan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991. KHI didasarkan pada Al-Qur’an dan hadits Rasulullah, dan secara spesifik digunakan oleh Pengadilan Agama untuk menangani konflik keluarga dalam masyarakat Islam di Indonesia.
KHI terdiri dari tiga kitab, di antaranya adalah Kitab II yang membahas Hukum Kewarisan, dengan enam bab dan 44 pasal yang merinci ketentuan umum, pewaris, jumlah warisan, aul dan rad, surat wasiat, serta hadiah warisan.
Pentingnya wasiat dalam hukum waris Islam ditegaskan dalam beberapa ayat Al-Qur’an, seperti Surah Al-Baqarah ayat 180, yang menyatakan bahwa wasiat merupakan kewajiban bagi orang yang bertaqwa kepada Allah SWT. Ayat-ayat lainnya, seperti Surah An-Nisa ayat 11-12, menekankan pentingnya wasiat sebagai prioritas sebelum pembagian warisan kepada ahli waris.
Pembagian warisan menurut hukum waris Islam didasarkan pada prinsip nisbah yang termaktub dalam Surah Al-Quran An-Nisa, melibatkan setengah (1/2), seperempat (1/4), seperdelapan (1/8), dua pertiga (2/3), sepertiga (1/3), dan seperenam (1/6). Beberapa contoh penerapan prinsip ini adalah:
- Setengah (1/2): Ahli waris seperti suami, anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki, saudara perempuan sekandung, dan saudara perempuan satu ayah.
- Seperempat (1/4): Suami atau istri dengan kondisi tertentu.
- Seperdelapan (1/8): Istri dengan suami yang memiliki anak atau cucu.
- Dua pertiga (2/3): Empat wanita termasuk anak perempuan kandung, keponakan laki-laki, saudara perempuan kandung, dan saudara perempuan kandung.
- Sepertiga (1/3): Ibunda dan dua saudara kandung dari ibu yang sama.
- Seperenam (1/6): Ahli waris tertentu dalam situasi khusus.
Selain itu, beberapa hal dapat membuat warisan seseorang batal, seperti status budak, pembunuhan terhadap ahli waris, atau perbedaan agama.
Syarat untuk menjadi ahli waris menurut hukum waris Islam, termaktub dalam Pasal 174 KHI, melibatkan kelompok ahli waris laki-laki dan perempuan, seperti ayah, ibu, anak laki-laki, anak perempuan, saudara laki-laki, saudara perempuan, paman, bibi, dan kakek. Syarat pertama pewarisan adalah kematian ahli waris, dan syarat kedua adalah apakah ahli waris masih hidup atau tidak pada saat kematian ahli waris yang sah.
Rukun waris dalam Islam, yaitu al-muwarrits, al-wârits, dan al-maurûts, harus dipenuhi untuk memastikan pembagian warisan yang sah. Pembagian warisan juga melibatkan jumlah bagian yang didapat berdasarkan hukum waris Islam, seperti pembagian kepada ayah, ibu, anak laki-laki, anak perempuan, istri atau janda.
Dengan begitu, pemahaman mendalam terhadap konsep hukum waris dalam Islam menjadi krusial untuk menghindari potensi konflik dan memastikan keadilan dalam pembagian harta warisan.