Di Indonesia, hubungan antara organisasi keagamaan besar seperti Muhammadiyah dan lembaga keuangan syariah seperti PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) menjadi sorotan penting.Â
Muhammadiyah, dengan sejarah panjang dan aset yang sangat besar, memainkan peran signifikan dalam ekosistem ekonomi dan sosial negara ini. Baru-baru ini, keputusan Muhammadiyah untuk menarik dana Rp 15 triliun rupiah dari BSI memicu berbagai diskusi dan analisis, tidak hanya di kalangan finansial tetapi juga di parlemen dan media.
Keputusan Penarikan Dana: Latar Belakang dan Implikasi
Keputusan PP Muhammadiyah untuk menarik dananya dari BSI, yang dikonfirmasi oleh anggota Komisi VI DPR RI Fraksi PKS, Amin Ak, mengindikasikan adanya persoalan serius dalam hubungan bisnis antara Muhammadiyah dan BSI.Â
Amin menyoroti bahwa keputusan ini mungkin didorong oleh pertimbangan politik yang lebih dominan dibandingkan aspek bisnis murni dari BSI. Dengan total dana pihak ketiga (DPK) BSI yang mencapai Rp 290 triliun, dana sebesar Rp 15 triliun yang ditarik oleh Muhammadiyah memang relatif kecil. Namun, tetap saja, penarikan dana dalam jumlah besar bisa mempengaruhi likuiditas bank.
Ketua PP Muhammadiyah Anwar Abbas menjelaskan bahwa keputusan ini diambil untuk mengurangi risiko konsentrasi dana di satu bank dan mendiversifikasi ke bank-bank syariah lain. Menurutnya, penempatan dana yang terlalu banyak di satu bank bisa menghambat persaingan sehat antar bank syariah, yang pada akhirnya merugikan sektor perbankan syariah secara keseluruhan.
Pandangan Ekonomi dan Likuiditas BSI
Ekonom dan Dewan Pakar Institute of Social Economic and Digital (ISED) Ryan Kiryanto menyebut bahwa keputusan Muhammadiyah untuk menarik dananya adalah hal yang wajar dan merupakan bagian dari strategi pengelolaan dana. Langkah ini dianggap sebagai tindakan preventif untuk menghindari risiko yang bisa timbul dari konsentrasi dana di satu tempat.
Menurut Ryan, meskipun ada penarikan dana dalam jumlah besar, likuiditas BSI tidak akan berpengaruh secara signifikan selama rasio pembiayaan terhadap simpanan (FDR) tetap terjaga di kisaran yang sehat, yaitu antara 60% hingga 70%.Â
Data menunjukkan bahwa aset BSI per April 2024 mencapai Rp 350,67 triliun, dengan total piutang pembiayaan skema syariah reguler sebesar Rp 148,56 triliun. Jumlah ini mencerminkan kekuatan finansial BSI untuk mengatasi fluktuasi likuiditas, bahkan jika terjadi penarikan dana yang besar.
Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Amin Nurdin menambahkan bahwa bank syariah sebesar BSI mampu mengantisipasi pergerakan likuiditas dalam jumlah triliunan rupiah.Â
Meskipun demikian, penarikan dana ini seharusnya menjadi pelajaran bagi BSI dan bank syariah lainnya untuk menjaga relasi yang baik dengan institusi pemilik dana besar melalui penawaran imbal hasil yang menarik dan layanan yang prima.
Kekayaan dan Aset Muhammadiyah
Muhammadiyah bukan hanya organisasi keagamaan, tetapi juga salah satu pemilik aset terbesar di Indonesia. Berdasarkan data yang disampaikan oleh Anwar Abbas dan Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir, aset Muhammadiyah diperkirakan mencapai Rp 400 triliun. Aset ini meliputi tanah, bangunan, kendaraan, serta berbagai institusi pendidikan dan kesehatan yang tersebar di seluruh Indonesia.
Muhammadiyah memiliki 172 perguruan tinggi, 5.345 sekolah atau madrasah, 440 pesantren, dan 122 rumah sakit. Selain itu, ada 231 klinik dan 1.012 unit amal usaha kesejahteraan sosial seperti panti asuhan dan pusat perawatan lansia. Tanah wakaf Muhammadiyah tersebar di 20.465 titik dengan total luas mencapai lebih dari 214 juta meter persegi, dan mereka juga memiliki sekitar 12 ribu masjid.Â
Data ini menunjukkan skala besar dari kontribusi Muhammadiyah dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan sosial di Indonesia.
Analisis Hubungan Muhammadiyah dan BSI
Dari sudut pandang bisnis, hubungan antara Muhammadiyah dan BSI harus dilihat sebagai simbiosis yang saling menguntungkan. Muhammadiyah, dengan basis dana yang sangat besar, dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan BSI.Â
Sebaliknya, BSI sebagai bank syariah terbesar di Indonesia harus mampu memberikan layanan terbaik dan kondisi yang menguntungkan bagi Muhammadiyah untuk memastikan keberlanjutan kerjasama ini.
Penarikan dana oleh Muhammadiyah juga menyoroti pentingnya manajemen risiko dalam pengelolaan dana organisasi besar. Diversifikasi dana ke berbagai bank syariah adalah langkah yang bijaksana untuk menghindari risiko konsentrasi dan memastikan bahwa organisasi tetap memiliki fleksibilitas dalam pengelolaan keuangannya.
Pandangan Akhir
Peristiwa penarikan dana besar mencapai 15 triliun oleh Muhammadiyah dari BSI memberikan pelajaran berharga tentang dinamika hubungan antara institusi keuangan dan organisasi besar di Indonesia. Berikut yang perlu diperhatikan:
- Manajemen Risiko: Diversifikasi dana adalah strategi penting untuk mengurangi risiko konsentrasi dan memastikan stabilitas keuangan.
- Hubungan Bisnis yang Baik: Bank harus menjaga hubungan baik dengan pemilik dana besar melalui layanan yang prima, penawaran imbal hasil yang kompetitif, dan komunikasi yang efektif.
- Transparansi dan Kepercayaan: Kedua belah pihak harus bekerja sama dengan transparan untuk membangun dan mempertahankan kepercayaan satu sama lain.
- Pengawasan dan Kebijakan: Kementerian BUMN perlu memastikan bahwa bank-bank BUMN termasuk BSI dikelola dengan baik dan fokus pada aspek bisnis tanpa terlalu banyak dipengaruhi oleh pertimbangan politik.
Dengan demikian, langkah yang diambil oleh Muhammadiyah untuk mendiversifikasi dananya seharusnya dilihat sebagai langkah positif untuk menciptakan iklim persaingan yang sehat di antara bank-bank syariah di Indonesia.Â
BSI, di sisi lain, harus menggunakan kesempatan ini untuk meningkatkan layanan dan memperkuat hubungan dengan seluruh pemangku kepentingan, termasuk institusi besar seperti Muhammadiyah. Hanya dengan demikian, sinergi antara organisasi besar dan lembaga keuangan syariah dapat memberikan kontribusi maksimal terhadap perekonomian nasional.
Referensi: