Sering kali kita mendengar pepatah “harta bukanlah segalanya,” namun masih banyak orang yang mengukur nilai diri dan orang lain berdasarkan status ekonomi mereka. Dalam pandangan Islam, baik kekayaan maupun kemiskinan adalah ujian dari Allah yang harus dihadapi dengan sikap yang benar.
Lalu, bagaimana kita seharusnya memahami kekayaan dan kemiskinan? Kemudian, bagaimana sikap kita terhadap ujian ini yang sesuai dengan ajaran Al-Qur’an dan pandangan para ulama? Simak penjelasan berikut ini.
Pemahaman Keliru tentang Kekayaan dan Kemiskinan
Manusia cenderung menganggap bahwa kekayaan adalah bukti kemuliaan dari Allah, sementara kemiskinan adalah tanda kehinaan. Pandangan ini sangat keliru. Allah berfirman dalam Surah Al-Fajr (89:15-16):
فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ
وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ
Artinya: “Adapun manusia apabila Rabbnya mengujinya lalu Dia memuliakannya dan memberinya kesenangan, maka dia akan berkata: ‘Rabbku telah memuliakanku’. Adapun bila Rabbnya mengujinya dan membatasi rezekinya, maka dia berkata: ‘Rabbku menghinakanku’. Sekali-kali tidak (demikian).”
Ayat ini menegaskan bahwa pemberian kekayaan atau pembatasan rezeki adalah ujian dari Allah, bukan tanda kemuliaan atau kehinaan.
Menurut Ustaz Abu Minhal, Lc dalam almanhaj, sebagian ulama berpendapat bahwa ayat ini (89:15-16) mengungkapkan salah satu sifat orang kafir dan musyrik saat menerima limpahan harta dan ketika kekurangan materi.
Mereka yang tidak beriman (kafir) sering kali mengukur kemuliaan dan kehinaan berdasarkan kekayaan material. Ini adalah sifat bawaan yang bersumber dari kebodohan (jahl) dan kezaliman (zhulm).
Ujian dalam Kekayaan dan Kemiskinan
Kekayaan dan kemiskinan adalah bentuk ujian dari Allah. Kekayaan adalah untuk menguji apakah seseorang akan bersyukur, sementara kemiskinan adalah untuk menguji kesabaran mereka. Allah berfirman dalam Surah Al-Mu’minun (23:55-56):
أَيَحْسَبُونَ أَنَّمَا نُمِدُّهُمْ بِهِ مِنْ مَالٍ وَبَنِينَ نُسَارِعُ لَهُمْ فِي الْخَيْرَاتِ بَلْ لَا يَشْعُرُونَ
Artinya: “Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu berarti bahwa Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar.”
Ini menegaskan bahwa pemberian harta dan anak-anak bukanlah tanda kemuliaan dari Allah. Sebaliknya, ini adalah ujian untuk melihat apakah mereka akan bersyukur dan menggunakan karunia tersebut dengan cara yang benar.
Hikmah di Balik Rezeki
Allah memberikan kekayaan atau menyempitkan rezeki berdasarkan hikmah yang luhur. Ini bukan semata-mata penilaian terhadap seseorang, tetapi ujian untuk melihat bagaimana mereka bersikap dalam kondisi tersebut. Allah berfirman dalam Surah Saba (34:36):
قُلْ إِنَّ رَبِّي يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Artinya: “Katakanlah: ‘Sesungguhnya Rabbku melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkan (bagi siapa yang Dia kehendaki), akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui’.”
Ini menunjukkan bahwa Allah memberikan kekayaan kepada orang yang Dia cintai dan juga kepada yang tidak Dia cintai. Begitu pula, Dia menyempitkan rezeki orang yang Dia cintai dan juga yang tidak Dia cintai. Hikmah dan keadilan Allah dalam hal ini sering kali tidak disadari oleh kebanyakan manusia.
Introspeksi Diri dalam Menghadapi Ujian
Seorang Mukmin harus selalu berintrospeksi dalam kondisi kaya atau miskin. Mereka harus bersyukur saat kaya dan bersabar saat miskin. Sikap ini akan membantu mereka menghindari sifat kebodohan dan kezaliman. Allah berfirman dalam Surah Al-Anbiya (21:35):
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ
Artinya: “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.”
Ayat ini menekankan bahwa baik keburukan maupun kebaikan adalah ujian dari Allah. Manusia harus tetap memuji Allah dalam kedua kondisi tersebut.
Simpulan
Kekayaan dan kemiskinan adalah bagian dari takdir dan qodho Allah. Keduanya adalah ujian untuk melihat sejauh mana manusia dapat bersyukur atau bersabar, bukan tanda kemuliaan atau kehinaan di sisi Allah.
Seorang Mukmin harus selalu introspeksi diri, bersyukur dalam kekayaan, dan bersabar dalam kemiskinan, serta memahami bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah bagian dari hikmah dan keadilan Allah.
Dengan demikian, mereka dapat menghadapi ujian hidup dengan sikap yang benar dan mendapatkan ridha dari Allah.