Apakah benar bahwa semakin kaya seseorang atau suatu negara, maka semakin bahagia pula kehidupannya?
Di tengah dunia modern yang memuja pertumbuhan ekonomi dan kekayaan materi, muncul satu temuan penting dari dunia akademik yang mengguncang asumsi dasar itu. Temuan ini dikenal dengan istilah Paradoks Easterlin, sebuah konsep yang mengubah cara kita memandang hubungan antara uang dan kebahagiaan.
Apa Itu Paradoks Easterlin?
Paradoks Easterlin adalah sebuah teori yang dikemukakan oleh Richard Easterlin, seorang ekonom asal Amerika Serikat, pada tahun 1974 dalam esainya yang berjudul Does Economic Growth Improve the Human Lot?
Melalui analisis data lintas negara, Easterlin menemukan sebuah kontradiksi yang mengejutkan: meskipun pendapatan nasional per kapita meningkat, tingkat kebahagiaan masyarakat tidak ikut meningkat secara signifikan.
Inilah mengapa disebut “paradoks.” Di satu sisi, secara logika dan teori ekonomi klasik, meningkatnya kekayaan seharusnya membawa kesejahteraan. Namun, kenyataannya, dalam jangka panjang, kebahagiaan nasional terlihat stagnan meski ekonomi terus bertumbuh.
Tiga Pilar Pemikiran dalam Paradoks Easterlin
Richard Easterlin menyusun tiga fondasi utama dalam paradoks ini:
1. Kebahagiaan bersifat relatif, bukan absolut.
Di dalam suatu negara, orang kaya memang cenderung lebih bahagia daripada orang miskin. Namun, kebahagiaan itu muncul karena posisi mereka relatif lebih baik daripada orang lain. Jika semua orang menjadi kaya secara bersamaan, maka posisi relatif tidak berubah, dan kebahagiaan pun tak naik.
Misalnya:
- Anda punya penghasilan Rp20 juta per bulan di suatu kota kecil.
- Rata-rata orang di sekitar Anda hanya berpenghasilan Rp5 juta per bulan.
- Maka Anda mungkin merasa lebih bahagia, puas, dan sukses karena merasa “lebih baik” dibanding yang lain.
Namun bayangkan:
- Tiba-tiba semua orang di kota itu ikut naik gajinya jadi Rp20 juta per bulan juga.
- Posisi Anda tidak lagi lebih unggul.
- Walaupun secara mutlak Anda tetap punya uang yang sama, Anda tidak merasa lebih bahagia seperti sebelumnya.
Mengapa? Karena kebahagiaan Anda berasal dari perbandingan posisi sosial, bukan dari jumlah uang itu sendiri.
2. Pertumbuhan ekonomi tidak menjamin pertumbuhan kebahagiaan.
Kita sering dengar: “Kalau ekonomi negara tumbuh, pasti rakyatnya makin bahagia.” Namun, kenyataannya tidak selalu begitu. Banyak negara yang sukses secara ekonomi, tapi rakyatnya tetap merasa lelah, stres, kesepian, atau bahkan tidak bahagia.
Contoh pada Jepang:
- Setelah Perang Dunia II, Jepang bekerja keras membangun negaranya.
- Hasilnya: PDB per kapita (pendapatan rata-rata masyarakat) naik drastis.
Artinya, orang Jepang jadi jauh lebih kaya dibanding generasi sebelumnya. - Namun, ketika para peneliti meneliti tingkat kebahagiaan warga Jepang dari tahun ke tahun, hasilnya mengejutkan: Kebahagiaan mereka tidak banyak berubah. Tetap sama. Bahkan cenderung stagnan.
Kenapa Bisa Begitu?
- Karena uang hanya bisa membeli hal-hal tertentu. Uang bisa beli rumah, mobil, makanan enak. Namun, uang tidak bisa langsung membeli makna hidup, kedamaian batin, atau hubungan yang hangat dengan keluarga.
- Karena tekanan hidup ikut naik. Saat ekonomi maju, dunia kerja semakin kompetitif, standar hidup makin tinggi, dan orang makin sibuk. Akhirnya, waktu istirahat dan relasi sosial justru makin berkurang.
- Karena adaptasi manusia cepat. Orang Jepang yang dulu merasa senang bisa punya motor, sekarang jadi biasa saja karena sudah punya mobil. Selalu ingin lebih, tapi tak pernah merasa cukup.
3. Setelah titik tertentu, uang kehilangan daya pengaruhnya terhadap kebahagiaan.
Ketika suatu negara masih tergolong miskin atau berpendapatan menengah, peningkatan pendapatan nasional (PDB per kapita) memiliki dampak besar terhadap kebahagiaan masyarakat. Kenapa? Karena:
- Pendapatan yang lebih tinggi berarti: bisa makan lebih layak, bisa bayar biaya sekolah anak, bisa berobat ke rumah sakit yang lebih baik, dan bisa tinggal di rumah yang lebih nyaman.
- Hal-hal ini benar-benar meningkatkan kualitas hidup dasar, sehingga rasa bahagia pun ikut naik.
Namun, ketika suatu negara sudah mencapai status negara maju atau negara kaya, di mana kebutuhan dasar masyarakatnya sudah terpenuhi semua, maka tambahan pendapatan tidak lagi berdampak besar pada kebahagiaan
Contoh pada Indonesia (negara berkembang):
- Saat pendapatan rata-rata naik dari Rp3 juta menjadi Rp5 juta per bulan, masyarakat bisa makan lebih baik, akses pendidikan meningkat, dan kesehatan membaik.
- Ini jelas meningkatkan rasa bahagia karena kebutuhan dasar mulai tercukupi.
Norwegia (negara kaya):
- Rata-rata penduduk sudah bisa beli mobil, punya rumah nyaman, akses internet cepat, liburan ke luar negeri.
- Ketika pendapatan naik dari Rp70 juta menjadi Rp80 juta per bulan, tidak banyak perubahan signifikan dalam kehidupan sehari-hari mereka.
- Akibatnya, tingkat kebahagiaan pun cenderung stagnan.
Dua Penjelasan Psikologis: Adaptasi dan Perbandingan Sosial
Easterlin menjelaskan paradoks ini melalui dua mekanisme psikologis:
1. Adaptasi Hedonis (Hedonic Adaptation)
Manusia cepat beradaptasi terhadap kondisi baru, termasuk kemewahan. Mobil baru, rumah mewah, atau gaji tinggi mungkin memberikan kebahagiaan sesaat, tetapi dalam waktu relatif singkat, standar baru akan menjadi “normal”. Kebahagiaan kembali ke titik semula.
Artinya, peningkatan materi hanya memberikan efek bahagia jangka pendek.
Bahasa sederhananya yaitu setelah Anda memiliki/mencapai sesuatu, semuanya akan tampak biasa saja (normal) seiring berjalannya waktu.
2. Perbandingan Sosial (Social Comparison)
Kita tidak hanya menilai kondisi hidup secara mutlak, tetapi juga membandingkan dengan orang lain. Ketika pendapatan kita naik namun pendapatan orang lain juga naik, maka posisi sosial kita tetap sama, sehingga kebahagiaan tidak ikut naik.
Inilah yang menjadikan masyarakat modern seperti sedang berlari di atas treadmill: bergerak cepat, tetapi tidak pernah benar-benar maju secara emosional dan spiritual.
Kasus Amerika Serikat dan Negara Maju Lainnya
Paradoks Easterlin terlihat jelas di negara-negara maju. Amerika Serikat, misalnya, memiliki PDB tertinggi di dunia, namun juga mencatatkan angka depresi, stres, dan bunuh diri yang tinggi.
Korea Selatan dan Jepang, dua negara dengan kemajuan teknologi dan ekonomi luar biasa, juga menghadapi krisis kesejahteraan mental. Ini menunjukkan bahwa kemajuan ekonomi tidak otomatis menyembuhkan penyakit jiwa kolektif.
Sementara gedung-gedung pencakar langit tumbuh, hubungan sosial bisa rusak, dan makna hidup bisa hilang di tengah kesibukan mengejar angka-angka ekonomi.
Kritik terhadap Paradoks Easterlin
Beberapa ekonom, seperti Betsey Stevenson dan Justin Wolfers, mencoba mengkritik Easterlin dengan data baru yang menunjukkan adanya korelasi antara pendapatan dan kebahagiaan.
Mereka menyatakan bahwa semakin tinggi pendapatan, maka kebahagiaan juga cenderung meningkat, meskipun efeknya kecil dan tidak sebanding secara langsung.
Namun, korelasinya lemah dan tidak membuktikan adanya hubungan sebab-akibat langsung (correlation is not causation). Easterlin tetap pada pendiriannya bahwa faktor-faktor non-ekonomi seperti relasi sosial, kesehatan mental, dan rasa syukur jauh lebih penting dalam menciptakan kebahagiaan yang tahan lama.
Implikasi untuk Kebijakan Publik
Paradoks Easterlin mengajukan satu pesan penting: pemerintah seharusnya tidak hanya fokus pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga pada kesejahteraan psikologis dan sosial masyarakat.
Beberapa negara mulai menerapkan pendekatan ini. Bhutan, misalnya, mengganti ukuran kemajuan dari PDB menjadi Gross National Happiness (GNH)—suatu indeks yang mengukur keseimbangan antara kesejahteraan ekonomi, budaya, lingkungan, dan psikologis.
Negara-negara Skandinavia seperti Norwegia, Swedia, dan Denmark juga menonjol dalam indeks kebahagiaan dunia, berkat sistem sosial yang kuat, jaminan kesehatan universal, dan budaya kerja yang sehat (work-life balance).
Relevansi untuk Indonesia
Indonesia saat ini masih fokus pada pertumbuhan ekonomi: meningkatkan PDB, konsumsi domestik, dan pembangunan infrastruktur. Namun, apakah masyarakat merasa makin bahagia, tenteram, dan memiliki harapan hidup yang positif?
Jika hanya mengejar pertumbuhan ekonomi tanpa memperhatikan keseimbangan hidup, kita bisa menjadi negara yang menang secara angka, tapi kalah secara jiwa.
Waktunya bagi Indonesia untuk mendefinisikan ulang arti kesejahteraan. Ini bukan hanya tugas pemerintah, tapi juga kesadaran kolektif sebagai masyarakat: bahwa hidup bukan hanya tentang “lebih”, tapi juga tentang “cukup”.
Penutup: Kaya Itu Boleh, Tapi Jangan Lupa Bahagia
Paradoks Easterlin adalah pengingat bahwa kekayaan finansial bukan jaminan kebahagiaan emosional. Kita boleh mengejar pertumbuhan ekonomi, bekerja keras, dan berusaha meningkatkan taraf hidup. Namun, jangan sampai melupakan aspek lain yang lebih esensial: hubungan yang hangat, rasa syukur, makna hidup, dan keseimbangan jiwa.
Jika PDB bisa naik 7%, tapi masyarakat merasa kosong, kesepian, dan kehilangan arah hidup, maka semua itu hanya sekadar angka.
Paradoks Easterlin tidak menyuruh kita anti-kaya. Ia hanya menyarankan agar kita tidak membabi buta mengejar uang tanpa arah. Kebahagiaan sejati sering kali lahir dari rasa cukup, bukan dari rasa ingin lebih.