Tagar #KaburAjaDulu merebak sebagai simbol kekecewaan generasi muda Indonesia terhadap kondisi ekonomi, politik, dan sosial yang dianggap stagnan. Fenomena ini bukan sekadar ajakan untuk pergi, melainkan kritik tajam terhadap sistem yang dinilai gagal memenuhi harapan masyarakat. Berbagai faktor seperti tingginya biaya pendidikan, lapangan kerja terbatas, upah rendah, dan kebijakan pemerintah yang tidak berpihak menjadi pemicu utama.
Menurut sosiolog Daisy Indira Yasmine, tren ini merupakan bentuk aspirasi kegelisahan kaum muda yang kehilangan kepercayaan pada masa depan di Tanah Air. Mereka melihat peluang di luar negeri sebagai “jalan keluar” dari ketidakpastian. Namun, di balik viralnya tagar ini, tersirat pertanyaan besar: Apakah kabur ke luar negeri solusi terbaik, atau justru kita perlu mencari cara untuk memperbaiki keadaan?
Akar Masalah: Mengapa Generasi Muda Ingin “Kabur”?
- Ekonomi yang Tidak Merata: Kesenjangan sosial dan ekonomi semakin melebar. Biaya hidup tinggi tidak sebanding dengan upah minimum, sementara lapangan kerja layak sulit diakses, terutama bagi lulusan perguruan tinggi.
- Sistem Pendidikan yang Memberatkan: Biaya pendidikan mahal dan persaingan masuk perguruan tinggi negeri menciptakan tekanan tambahan. Setelah lulus, mereka kembali dihadapkan pada minimnya kesempatan kerja sesuai kompetensi.
- Kebijakan Pemerintah yang Tidak Pro-Rakyat: Kebijakan seperti efisiensi anggaran pendidikan, pemotongan dana riset, dan ketidakjelasan program kerja pemerintah memperparah rasa frustasi.
- Korupsi dan Nepotisme: Sistem yang korup dan praktik nepotisme dianggap menghambat meritokrasi, membuat anak muda merasa potensinya terbuang.
Solusi Konkret: Dari Frustasi ke Aksi
1. Tingkatkan Kompetensi dan Peluang Global
Bagi yang memilih untuk bekerja atau studi di luar negeri, persiapan matang adalah kunci. Kuasai bahasa asing, cari informasi beasiswa, dan pahami regulasi negara tujuan. Misalnya, Australia menawarkan Graduate Visa bagi lulusan internasional, sementara Jepang membuka peluang di bidang teknologi.
Tips:
- Ikuti kursus bahasa Inggris atau bahasa negara tujuan.
- Manfaatkan platform seperti LinkedIn untuk membangun jaringan profesional.
- Pelajari budaya dan hukum lokal untuk menghindari masalah adaptasi.
2. Bangun Ekosistem Lokal yang Berdaya Saing
Jika memilih bertahan, generasi muda bisa menjadi agen perubahan dengan:
- Mendorong Kewirausahaan: Manfaatkan teknologi untuk membuka usaha kreatif, seperti startup digital atau UMKM berbasis inovasi.
- Advokasi Kebijakan: Gunakan media sosial untuk menyuarakan aspirasi secara konstruktif, misalnya melalui petisi atau kolaborasi dengan lembaga swadaya masyarakat.
- Komunitas Pembelajaran: Bentuk kelompok diskusi atau pelatihan untuk meningkatkan keterampilan teknis (coding, desain, dll.) secara mandiri.
3. Kolaborasi dengan Diaspora Indonesia
Diaspora Indonesia di luar negeri bisa menjadi mitra strategis. Misalnya, mereka dapat membuka akses pasar global untuk produk lokal atau menjadi mentor bagi pemuda di Tanah Air. Pemerintah juga perlu memfasilitasi program seperti reverse brain drain dengan insentif bagi profesional yang ingin pulang dan berkontribusi.
4. Tekan Pemerintah untuk Perbaikan Sistemik
- Transparansi Anggaran: Dorong pengawasan publik terhadap alokasi dana pendidikan dan riset.
- Reformasi Birokrasi: Kurangi prosedur berbelit-belit dalam perizinan usaha atau akses beasiswa.
- Perkuat Sektor Strategis: Investasi di bidang teknologi hijau, kesehatan, dan pendidikan vokasi untuk menciptakan lapangan kerja baru.
Inspirasi: Kabur Bukan Satu-Satunya Jalan
Kisah sukses seperti Meutia Faradilla (penulis Medium) yang tetap bertahan meski cemas, atau diaspora yang sukses di luar negeri namun tetap mendukung Indonesia, membuktikan bahwa pilihan ada di tangan kita. Kabur bukanlah pelarian, tetapi keputusan yang perlu dipertimbangkan matang. Bagi yang memilih tinggal, perubahan bisa dimulai dari hal kecil:
- Bergabung dengan komunitas sosial yang memberdayakan.
- Mengedukasi diri dan sekitar tentang hak sebagai warga negara.
- Menjadi relawan di program pengembangan masyarakat.
Penutup: Indonesia Butuh Kita, di Mana Pun Berada
Fenomena #KaburAjaDulu adalah cermin krisis kepercayaan, tetapi juga peluang untuk berefleksi. Apapun pilihanmu—tinggal atau pergi—yang terpenting adalah kontribusi nyata. Bagi yang kabur, jadilah duta bangsa yang membawa nama baik Indonesia. Bagi yang bertahan, teruslah berjuang untuk perubahan.
Seperti kata sosiolog Nur Hasyim, “Tren ini harus jadi alarm bagi pemerintah untuk mendengar suara rakyat”. Mari bersama-sama menciptakan Indonesia yang layak diwariskan ke generasi mendatang.