Di era modern saat ini, fenomena kekayaan sebagai ukuran kesuksesan, kecerdasan, dan kualitas manusia semakin mengakar kuat di berbagai lapisan masyarakat, termasuk di Indonesia. Fenomena ini disebut sebagai materialisme kultural.
Materialisme kultural telah merasuki nilai-nilai sosial kita, di mana orang-orang yang memiliki banyak uang sering dipandang lebih hebat, lebih cerdas, dan lebih berkualitas dibandingkan mereka yang mungkin memiliki keahlian, pengetahuan, atau integritas, tetapi tidak sekaya orang-orang tersebut.
Fenomena ini sering kali menciptakan distorsi nilai yang merugikan. Banyak orang menjadi terobsesi dengan kekayaan materi tanpa memperhatikan bagaimana cara kekayaan tersebut diperoleh. Mereka yang terlibat dalam aktivitas ilegal seperti korupsi, bisnis narkoba, atau judi justru mendapatkan pengakuan sosial yang tinggi, meskipun tindakan mereka jelas merusak tatanan masyarakat.Â
Di sisi lain, individu yang berhasil mendapatkan kekayaan melalui cara-cara yang kurang bermoral, seperti memproduksi konten vulgar atau sensasional di media sosial, juga sering kali dielu-elukan sebagai simbol kesuksesan modern.
Hal ini menimbulkan masalah yang lebih luas, terutama ketika generasi muda mulai melihat kekayaan sebagai satu-satunya tujuan hidup tanpa mempertimbangkan pentingnya integritas dan kontribusi positif kepada masyarakat.Â
Sebagian masyarakat cenderung mengidolakan tokoh-tokoh yang kaya dan terkenal, meskipun pencapaian mereka sering kali tidak mencerminkan kecerdasan intelektual atau moralitas yang tinggi.
Di tengah budaya yang semakin kapitalis, kekayaan sering kali diartikan sebagai bukti kehebatan, terlepas dari cara dan dampaknya bagi masyarakat. Fenomena ini menunjukkan bahwa ukuran kesuksesan seseorang dalam pandangan masyarakat kini lebih ditentukan oleh hasil finansial, bukan proses atau dampaknya terhadap kesejahteraan umum.
Memahami Materialisme Kultural
Teori ini berpendapat bahwa materialisme menjadi landasan nilai sosial yang dominan di masyarakat modern, terutama di era kapitalisme. Menurut teori ini, manusia menempatkan kekayaan materi sebagai tujuan hidup yang paling tinggi.Â
Masyarakat secara kolektif cenderung menilai orang lain berdasarkan kekayaan, terlepas dari bagaimana kekayaan tersebut diperoleh. Aspek moral, etika, dan integritas menjadi sekunder karena yang dianggap penting adalah hasil finansial. Ini menciptakan lingkungan di mana konsumerisme dan akumulasi kekayaan mendefinisikan status sosial seseorang.
Materialisme Mendistorsi Makna Kesuksesan
Di era modern ini, materialisme kultural telah menjadi salah satu nilai utama yang dianut oleh mayoritas masyarakat. Ukuran kesuksesan seseorang cenderung diukur dari seberapa banyak uang atau harta benda yang dimilikinya.Â
Orang yang kaya, terlepas dari bagaimana mereka memperoleh kekayaan itu, sering kali dipandang sebagai figur sukses dan panutan. Kondisi ini menyebabkan penghargaan terhadap etika, moralitas, dan integritas menjadi tergeser oleh obsesi terhadap kekayaan material.
Dalam masyarakat yang sangat menghargai status finansial, seseorang yang memiliki banyak uang akan mendapatkan pengakuan sosial, meskipun mungkin kekayaannya diperoleh melalui aktivitas yang tidak etis atau bahkan ilegal. Akibatnya, nilai-nilai seperti kejujuran, kerja keras yang bermartabat, dan kontribusi positif terhadap masyarakat sering kali diabaikan.
Ketidaksinkronan antara Kekayaan dan Kecerdasan
Fenomena ini juga menunjukkan ketidaksinkronan antara kekayaan dan kecerdasan. Banyak orang menganggap bahwa kekayaan adalah bukti kecerdasan atau kehebatan seseorang. Padahal, kekayaan sering kali tidak berkorelasi langsung dengan kecerdasan yang sebenarnya.
Seseorang bisa saja memiliki banyak uang, tetapi cara mereka mencapainya tidak mencerminkan kualitas intelektual atau moral yang tinggi. Misalnya, seseorang yang terlibat dalam korupsi, bisnis narkoba, atau perjudian bisa memperoleh kekayaan yang besar, tetapi kontribusinya terhadap masyarakat bersifat destruktif.Â
Kekayaan dalam konteks ini tidak berasal dari inovasi, kreativitas, atau upaya yang berlandaskan etika, melainkan dari tindakan yang merusak tatanan sosial.
Selain itu, kecerdasan tidak selalu harus diukur dari seberapa banyak uang yang dihasilkan seseorang. Kecerdasan sejati mencakup kemampuan untuk berpikir kritis, menyelesaikan masalah, menciptakan solusi, serta memiliki nilai-nilai moral dan integritas.Â
Dalam masyarakat yang sehat, kecerdasan seharusnya dinilai dari kontribusi positif yang seseorang berikan kepada masyarakat, bukan dari seberapa banyak harta yang mereka miliki.
Eksploitasi Media Sosial dan Degradasi Moral
Perkembangan teknologi, khususnya media sosial, turut memperparah fenomena ini. Banyak konten kreator yang menghasilkan kekayaan melalui cara-cara yang tidak bermutu, seperti memproduksi konten yang vulgar, tidak senonoh, atau mengandalkan aksi sensasional yang tidak memiliki nilai positif.Â
Parahnya, konten-konten ini menjadi sumber popularitas bagi beberapa individu di media sosial. Ironisnya, popularitas ini sering kali diikuti dengan peningkatan pendapatan dari iklan atau sponsor.
Masyarakat, terutama kalangan muda, sering terjebak dalam pola pikir bahwa popularitas di media sosial sama dengan kecerdasan atau prestasi, meskipun konten yang diproduksi tidak memberikan nilai edukatif atau moral.
Degradasi moral yang muncul dari fenomena ini menunjukkan bahwa banyak orang mengabaikan nilai-nilai kesopanan dan etika demi mendapatkan pengakuan dan keuntungan materi. Ini adalah refleksi dari bagaimana budaya kapitalisme yang berorientasi pada keuntungan ekonomi semata dapat merusak integritas dan nilai-nilai luhur.
Dampak Sosial: Generasi Muda yang Terlena
Salah satu dampak yang paling mencolok dari fenomena materialisme kultural adalah bagaimana hal ini mempengaruhi generasi muda. Mereka tumbuh di lingkungan di mana uang dan ketenaran menjadi tolok ukur utama kesuksesan. Hal ini mendorong mereka untuk meniru tokoh-tokoh yang sukses secara materi, tanpa memperhatikan apakah cara yang mereka tempuh bermoral atau tidak.
Ketika figur publik yang sukses melalui cara-cara tidak etis atau tidak bermoral menjadi panutan, generasi muda akan cenderung melihat bahwa jalan pintas menuju kekayaan lebih menarik daripada proses belajar yang benar.Â
Mereka mungkin menganggap bahwa selama mereka bisa memperoleh uang, nilai-nilai seperti kejujuran, kerja keras, dan kontribusi positif kepada masyarakat tidaklah penting. Ini adalah ancaman serius bagi masa depan moral dan intelektual bangsa.
Ironi Kapitalisme: Menghargai Hasil, Mengabaikan Proses
Fenomena materialisme kultural juga bisa dikaitkan dengan ironi kapitalisme. Kapitalisme modern cenderung sangat fokus pada hasil (kekayaan atau pendapatan) daripada proses (cara menghasilkan kekayaan).Â
Dalam konteks ini, masyarakat sering kali memuja hasil tanpa memikirkan bagaimana prosesnya. Orang-orang yang kaya melalui bisnis yang tidak bermoral tetap mendapat tempat di masyarakat, selama mereka bisa memamerkan kekayaan dan status sosial yang mencolok.
Padahal, proses adalah sesuatu yang penting. Cara seseorang memperoleh kekayaan seharusnya dinilai sama pentingnya dengan hasil kekayaan itu sendiri.Â
- Apakah kekayaan tersebut dihasilkan melalui cara-cara yang etis, bermartabat, dan bermanfaat bagi orang lain?Â
- Apakah prosesnya mencerminkan kualitas kecerdasan, integritas, dan kontribusi sosial?Â
Kapitalisme tanpa nilai etis cenderung mengarah pada degradasi moral yang berbahaya bagi tatanan sosial.
Solusi: Reposisi Nilai Sosial
Untuk mengatasi fenomena materliasme kultural di mana kekayaan sebagai ukuran kesuksesan, masyarakat perlu mereposisi nilai-nilai sosial. Uang dan kekayaan tidak seharusnya menjadi satu-satunya ukuran kesuksesan atau kecerdasan seseorang.Â
Penting untuk menghargai individu berdasarkan kontribusi positif mereka terhadap masyarakat, bukan semata-mata karena status finansial mereka. Ini bisa dimulai dari pendidikan, di mana generasi muda harus diajarkan bahwa moralitas, etika, dan integritas lebih berharga daripada kekayaan yang diperoleh melalui cara yang salah.
Masyarakat juga harus lebih kritis terhadap figur publik yang sukses melalui cara-cara yang tidak etis atau tidak bermoral. Media massa dan platform digital harus lebih bertanggung jawab dalam mempromosikan panutan yang berkualitas, yang tidak hanya sukses secara finansial tetapi juga memiliki nilai-nilai luhur.