Investasi Telkomsel di GoTo merupakan salah satu kasus paling kontroversial dalam pengelolaan dana BUMN di Indonesia. Pada Mei 2021, Telkomsel menginvestasikan sekitar Rp6,7 triliun untuk membeli saham GoTo seharga Rp265 per lembar. Namun, pada penutupan perdagangan 24 Februari 2025, harga saham tersebut turun drastis menjadi Rp79 per lembar, sehingga menimbulkan kerugian yang belum terealisasi (unrealized loss) yang signifikan.
Kondisi ini memunculkan pertanyaan besar: siapa yang benar-benar diuntungkan? Publik semakin curiga ketika, setelah investasi besar Telkomsel, Garibaldi Thohir—kakak kandung Menteri BUMN Erick Thohir—mendadak memiliki 1 miliar lembar saham GoTo. Hal ini menimbulkan spekulasi adanya konflik kepentingan dan kemungkinan penyalahgunaan wewenang dalam pengambilan keputusan investasi.
Sementara itu, Indonesia baru saja meresmikan BPI Danantara pada 24 Februari 2025, sebuah sovereign wealth fund (SWF) dengan aset sebesar $900 miliar yang masuk dalam 10 SWF terbesar di dunia. Dengan dana yang begitu besar, pertanyaannya kini adalah: apakah Danantara akan menjadi alat pendorong pertumbuhan ekonomi nasional atau justru menjadi korban berikutnya dalam permainan investasi seperti yang terjadi pada Telkomsel dan GoTo?
Bagaimana Telkomsel Bisa Terjebak di GoTo?
Skema yang digunakan dalam investasi ini cukup klasik:
- GoTo melakukan revaluasi aset dan goodwill setelah merger Gojek-Tokopedia.
- Saham baru diterbitkan dengan harga lebih tinggi berdasarkan valuasi ini.
- Investor baru, dalam hal ini Telkomsel, masuk dan membeli saham GoTo di harga revaluasi, yakni di Rp265 per lembar. Sebelum revaluasi, saham perusahaan hanya bernilai Rp1.
- Harga saham anjlok setelah IPO karena valuasi tidak didukung fundamental yang kuat.
Konsekuensinya:
- Telkomsel mengalami kerugian yang belum direalisasikan (unrealized loss) yang signifikan.
- GoTo tetap mendapatkan pendanaan besar dari uang negara.
- Garibaldi Thohir menjadi salah satu pemegang saham besar pasca transaksi.
Kasus ini menyoroti bagaimana BUMN bisa dijadikan alat untuk menopang kepentingan bisnis dan politik tertentu. Jika strategi serupa diterapkan di Danantara, maka kita sedang menghadapi risiko pengelolaan dana investasi negara yang tidak transparan dan rentan manipulasi.
Kenapa Kementerian BUMN Masih Memegang Kendali Setelah Danantara Dibentuk?
Saat Danantara dibentuk, logikanya Kementerian BUMN seharusnya tidak lagi memiliki peran dominan dalam pengelolaan BUMN. Seharusnya, model pengelolaan aset negara melalui SWF lebih profesional, transparan, dan bebas dari kepentingan politik.
Namun, kenyataannya Menteri BUMN tetap memiliki peran strategis dan berkuasa penuh dalam keputusan Danantara.
Bagaimana ini bisa terjadi?
- Menteri BUMN masih memegang Saham Seri A (1%) di Danantara, yang memberikan hak veto dalam kebijakan strategis.
- Dewan Pengawas Danantara diisi oleh perwakilan dari Kementerian BUMN dan Kementerian Keuangan, menciptakan potensi dualisme kepemimpinan.
- BUMN tetap berada dalam kendali dua entitas berbeda: Danantara dan Kementerian BUMN, yang berpotensi menciptakan kebijakan yang tumpang tindih.
Ini bukan cara kerja sovereign wealth fund yang sehat. Jika kita melihat Temasek Holdings (Singapura) atau GIC (Singapura), mereka beroperasi secara independen dari pengaruh politik. Tapi di Indonesia, Danantara justru dibuat tetap memiliki koneksi erat dengan kekuasaan.
Apakah Ada Kepentingan Politik di Balik Danantara?
Beberapa pengamat menyoroti bahwa struktur Danantara yang tetap melibatkan Kementerian BUMN bisa menjadi celah bagi kepentingan politik dan bisnis tertentu.
Mengutip law-justice.co, Direktur Center for Budget Analysis (CBA), Uchok Sky Khadafi, bahkan menuduh Erick Thohir ‘mengakali’ Presiden Prabowo dalam pembentukan Danantara.
- Uchok menyebut ada “main mata” antara Erick Thohir dan Komisi VI DPR RI dalam penyusunan regulasi Danantara, yang membuat Menteri BUMN tetap memiliki kendali besar.
- Ada dugaan bahwa Danantara bisa menjadi alat investasi untuk kepentingan bisnis tertentu, bukan untuk kepentingan nasional.
- Seperti dalam kasus Telkomsel-GoTo, BUMN bisa saja diarahkan untuk berinvestasi di perusahaan yang terkait dengan kelompok tertentu.
Jika tuduhan ini benar, Danantara bukan sekadar sovereign wealth fund, tapi alat politik baru yang dikemas sebagai investasi negara.
Risiko yang Mengintai: Apakah Danantara Akan Jadi Korban Berikutnya?
Jika Danantara tidak dikelola dengan transparan, risiko yang kita hadapi sangat besar. Ada tiga ancaman utama:
- Danantara bisa jadi alat bagi kepentingan kelompok tertentu, bukan ekonomi nasional.
- BUMN tetap berada dalam kendali politik, bukan sebagai entitas yang profesional.
- Investasi bisa diarahkan ke perusahaan tertentu dengan alasan ‘strategis’, meski fundamentalnya lemah.
Dengan aset sebesar $900 miliar di tangan Danantara, pertanyaannya sekarang bukan lagi “Apakah kita bisa mengelola ini dengan baik?”, tapi “Siapa yang sebenarnya akan mengendalikan ini?”
Jangan sampai Danantara jadi korban berikutnya setelah investasi Telkomsel di GoTo.
Danantara: Reformasi atau Sekadar Konsolidasi Kekuasaan?
BPI Danantara memiliki potensi besar untuk memperkuat ekonomi nasional. Namun, dengan peran Kementerian BUMN yang masih kuat dan struktur yang tetap membuka ruang bagi intervensi politik, ada risiko bahwa Danantara hanya akan menjadi instrumen baru bagi elit politik dan bisnis.
- Apakah Danantara akan menjadi game changer bagi Indonesia?
- Ataukah ini hanya strategi baru untuk mempertahankan kendali politik atas aset negara?
- Apakah BPI Danantara benar-benar menguntungkan ekonomi Indonesia, atau justru membuka potensi masalah baru?