Pemerintah Indonesia resmi membentuk Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) sebagai superholding baru yang akan mengendalikan tujuh BUMN strategis: BRI, PLN, Pertamina, BNI, Mandiri, MIND ID, dan Telkom Indonesia.
Konsep ini digadang-gadang sebagai langkah maju dalam pengelolaan aset negara agar lebih profesional dan efisien, sekaligus menarik lebih banyak investasi global.
Namun, ada satu pertanyaan besar yang mulai mencuat: Apakah BPI Danantara benar-benar meningkatkan efisiensi pengelolaan BUMN, atau justru menciptakan kapitalisme birokrat yang menguntungkan segelintir elit?
Struktur dan Modal Awal Danantara
Presiden Prabowo Subianto memastikan bahwa BPI Danantara akan resmi diluncurkan pada 24 Februari mendatang. Badan ini dibentuk untuk mengoptimalkan kekayaan negara melalui investasi strategis, dengan cara mengkonsolidasikan semua aset negara di bawah satu entitas.
Berdasarkan data terbaru, Danantara akan mengelola investasi lebih dari US$900 miliar atau sekitar Rp14.724 triliun, melalui berbagai aset milik pemerintah. Sementara itu, modal awal Danantara ditetapkan sebesar Rp1.000 triliun, yang dapat bertambah melalui penyertaan modal negara dan/atau sumber lain.
Danantara berdiri di bawah Undang-undang BUMN terbaru, yang baru saja disahkan pada awal Februari 2025. Dalam regulasi ini, terdapat dua holding utama di bawah Danantara:
- Holding Investasi
- Holding Operasional
Kedua holding ini berbentuk perseroan terbatas (PT) dan bertanggung jawab dalam mengelola aset strategis negara secara profesional.
Kewenangan Holding Investasi dan Holding Operasional
Holding Investasi memiliki tugas utama seperti:Â
- Mengelola dividen BUMN
- Menerbitkan surat utang dan menerima pinjaman
- Memberikan pinjaman kepada Holding Operasional atau BUMN
- Mengusulkan kontrak manajemen kepada Danantara
Sementara itu, Holding Operasional bertanggung jawab untuk:
- Mengelola aset Holding Operasional dan BUMN
- Menerbitkan surat utang
- Mengusulkan hapus buku atas aset Holding Operasional
Kapitalisme Negara: Apa yang Berubah?
Sebelum adanya Danantara, kepemilikan saham negara dalam BUMN bersifat langsung. Pemerintah, melalui Kementerian BUMN dan Kementerian Keuangan, memiliki kontrol langsung atas perusahaan-perusahaan pelat merah.
Namun, setelah Danantara terbentuk, semua saham BUMN strategis kini berada di bawah kendali Danantara. Negara tidak lagi memiliki saham langsung di BUMN tersebut, melainkan hanya di Danantara. Ini mengindikasikan bahwa:
- Kepemilikan negara atas aset strategis menjadi lebih tidak transparan.
- BUMN tidak lagi beroperasi sebagai entitas negara secara langsung, melainkan melalui superholding yang dikelola secara birokratis.
- Kontrol publik atas aset negara berkurang, karena Danantara bukan entitas yang dapat diawasi langsung oleh rakyat.
Jika sebelumnya kepemilikan negara atas BUMN jelas dan langsung, kini kepemilikan tersebut menjadi lebih kabur. Ini menimbulkan kekhawatiran bahwa aset negara dapat lebih mudah dikendalikan oleh segelintir elit birokrat dan bukan lagi oleh negara untuk kepentingan rakyat.
Dua Kelas Saham: Kontrol atau Kompromi Politik?
Dalam UU BUMN terbaru setelah revisi, struktur kepemilikan Danantara terdiri dari dua kelas saham:
- Saham Seri A (1%) dimiliki oleh Menteri BUMN, yang memiliki hak veto dalam keputusan strategis.
- Saham Seri B (99%) dipegang oleh Danantara, yang memiliki kendali penuh atas operasional BUMN.
Pertanyaannya:
- Jika Danantara sepenuhnya dimiliki oleh negara, mengapa perlu ada pemisahan saham?
- Apakah ini cara untuk memastikan bahwa Menteri BUMN tetap memiliki pengaruh atas keputusan strategis Danantara?
- Apakah struktur ini lebih mencerminkan konsolidasi politik daripada efisiensi bisnis?
Opini saya, pembagian saham ini menunjukkan adanya kompromi politik yang memungkinkan Menteri BUMN tetap memegang kendali meskipun Danantara seharusnya beroperasi lebih independen. Implikasinya, model saham ini berpotensi membuka celah intervensi politik dalam kebijakan bisnis negara, yang bertentangan dengan prinsip profesionalisme dalam pengelolaan investasi.
Tumpang Tindih Kewenangan: Danantara vs. Kementerian BUMN
Jika Danantara telah mengambil alih operasional BUMN, mengapa Kementerian BUMN masih tetap ada?
- Direksi BUMN kini harus melapor ke Danantara terkait KPI dan strategi bisnis.
- Namun, penunjukan direksi masih ditentukan oleh Menteri BUMN.
Ketidakseimbangan ini menciptakan potensi konflik dalam pengambilan keputusan. Jika ingin meniru Temasek Holdings (Singapura) atau Khazanah Nasional (Malaysia), seharusnya Kementerian BUMN hanya berperan sebagai regulator kebijakan makro, bukan sebagai pengendali operasional.
Konsekuensinya, jika peran Kementerian BUMN tidak dikurangi, Danantara berisiko menjadi alat baru untuk kepentingan politik, bukan efisiensi ekonomi.
Minimnya Transparansi Keuangan: Siapa yang Mengawasi Danantara?
Menurut laporan Indonesia Corruption Watch (ICW), salah satu risiko terbesar dalam pembentukan Danantara adalah lemahnya pengawasan keuangan.
- BPK dan KPK tidak memiliki wewenang audit reguler terhadap Danantara, kecuali atas permintaan DPR.
- Laporan keuangan hanya diaudit oleh akuntan publik, bukan lembaga independen yang lebih ketat.
- Minimnya mekanisme checks and balances dapat membuka celah bagi penyalahgunaan dana.
Jika mekanisme pengawasan tidak diperkuat, Danantara berpotensi menjadi ruang baru bagi penyalahgunaan aset negara tanpa kontrol yang memadai.
Risiko Jangka Panjang: Negara Kehilangan Kontrol atas Aset Strategis?
Ketika kepemilikan BUMN dialihkan ke Danantara, ini menimbulkan beberapa risiko jangka panjang:
- Privatisasi bertahap dapat terjadi jika Danantara mulai menjual aset BUMN untuk meningkatkan profitabilitas.
- Aset negara bisa lebih mudah dikendalikan oleh birokrasi dibanding oleh pemerintah langsung.
- Investasi asing bisa lebih leluasa masuk, yang dalam beberapa kasus bisa berujung pada kepemilikan asing atas aset strategis.
Jika skenario ini terjadi, bukan tidak mungkin bahwa dalam beberapa dekade ke depan, BUMN yang seharusnya menjadi tulang punggung ekonomi nasional justru lebih banyak dikendalikan oleh investor luar negeri dan birokrasi tertutup.
Apa yang Harus Diperbaiki?
Jika Danantara benar-benar ingin menjadi superholding yang profesional dan efisien, ada beberapa langkah yang harus dilakukan:
- Hapus dual-class shares (Saham Seri A dan B):Â kepemilikan negara harus transparan dan tidak ada ruang bagi veto politik.
- Pastikan mekanisme pengawasan lebih kuat: BPK dan KPK harus memiliki wewenang audit reguler atas Danantara.
- Kepemilikan saham negara harus dapat diakses oleh publik, transparansi harus menjadi prioritas utama.
Kesimpulan: Apakah Ini Reformasi atau Hanya Rebranding?
Danantara adalah konsep besar yang memiliki potensi luar biasa. Namun, tanpa mekanisme pengawasan dan transparansi yang kuat, apakah kita benar-benar menuju efisiensi, atau justru menciptakan kapitalisme birokrat yang lebih sulit diawasi? Jika dikelola dengan baik, Danantara bisa menjadi motor utama ekonomi Indonesia. Jika dikelola dengan buruk, ini bisa menjadi jalan baru bagi oligarki birokrasi untuk menguasai aset negara tanpa kontrol rakyat.