Dalam dunia yang semakin kompetitif, konsep meritokrasi sering diandalkan sebagai pembenaran bagi ketidaksetaraan yang ada. Meritokrasi menjanjikan bahwa setiap orang, terlepas dari latar belakang mereka, memiliki kesempatan yang sama untuk sukses jika mereka cukup berbakat dan bekerja keras.
Namun, dalam video YouTube berjudul “Why meritocracy is a LIE… (it’s way worse than people realize)“, Andres Acevedo mengungkap kebohongan di balik mitos ini dan bagaimana sistem ini gagal memberikan kesempatan yang sama bagi semua orang.
Artikel ini akan mengupas lebih dalam argumen Acevedo, didukung oleh hasil penelitian, dan menjelaskan mengapa meritokrasi sering kali hanya menjadi ilusi yang memperkuat kesenjangan yang ada.
Lahirnya Meritokrasi dan Ketimpangan yang Berkembang
Meritokrasi muncul selama Zaman Pencerahan sebagai cara untuk menggantikan agama dalam membenarkan ketidaksetaraan. Ide ini menyatakan bahwa kekayaan dan kekuasaan harus diperoleh melalui bakat dan usaha, bukan melalui keturunan atau hak istimewa.
Namun, Acevedo berpendapat bahwa meskipun konsep ini tampak adil, kenyataannya tidak demikian. Kekayaan dan kekuasaan sering kali diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, menciptakan kesenjangan yang terus berkembang.
Sebagai contoh, Acevedo menyebut keluarga Skarsgård, yang memiliki beberapa anggota keluarga yang sukses sebagai aktor. Fenomena ini menunjukkan bahwa koneksi keluarga dan status sosial memiliki peran besar dalam kesuksesan seseorang, yang bertentangan dengan prinsip meritokrasi.
Fenomena “Nepo Babies” dan Mobilitas Sosial
Istilah “Nepo baby” umumnya merujuk pada anak-anak dari keluarga kaya dan berkuasa yang mewarisi privilege orang tua mereka. Acevedo menunjukkan bahwa fenomena ini adalah bukti nyata bahwa meritokrasi adalah kebohongan dan sebuah ilusi.
Penelitian tentang mobilitas sosial menunjukkan bahwa negara-negara dengan tingkat kesenjangan ekonomi yang tinggi, seperti Amerika Serikat, Inggris, Brasil, dan termasuk Indonesia, memiliki mobilitas sosial yang rendah.
Kurva Great Gatsby menggambarkan korelasi antara ketimpangan pendapatan dan mobilitas sosial, menunjukkan bahwa semakin tinggi ketidaksetaraan, semakin rendah mobilitas sosial. Ini berarti bahwa orang-orang dari latar belakang yang kurang beruntung memiliki peluang yang sangat kecil untuk meningkatkan status sosial mereka.
Persistensi Status Elite Melintasi Generasi
Penelitian membuktikan bahwa status elite bisa bertahan selama berabad-abad. Contoh yang mencolok adalah penakluk Norman di Inggris, yang nama-nama keluarganya masih mendominasi di universitas-universitas elit seperti Oxford dan Cambridge.
Studi serupa di negara-negara lain seperti China dan Swedia juga menunjukkan bahwa persistensi status elite sekitar 70-80%. Meskipun ada perubahan sosial yang signifikan selama beberapa ratus tahun terakhir, mobilitas sosial tidak meningkat secara signifikan. Ini menegaskan bahwa meritokrasi bukanlah alat yang efektif untuk mengatasi ketimpangan struktural.
Paradox Ketimpangan dan Keyakinan pada Meritokrasi
Menurut penelitian oleh Jonathan Mijs, negara-negara dengan ketimpangan yang lebih besar cenderung memiliki keyakinan yang lebih kuat pada meritokrasi. Namun, kenyataannya adalah bahwa semakin tidak setara suatu masyarakat, semakin tidak meritokratis masyarakat tersebut sebenarnya. Inilah yang disebut sebagai The Paradox of Inequality.
Meskipun demikian, orang-orang di masyarakat yang tidak setara terus percaya lebih kuat pada meritokrasi, menciptakan ilusi yang memperkuat diri sendiri. Kepercayaan ini sering dipupuk oleh cerita-cerita dari “rags to riches” yang memperlihatkan individu-individu yang berhasil menentang peluang dan mencapai kesuksesan besar. Namun, kasus-kasus ini adalah pengecualian dan tidak mewakili kenyataan bagi sebagian besar orang.
Kenapa Meritokrasi Gagal?
Meritokrasi diiklankan sebagai sistem yang memberi setiap orang kesempatan yang sama untuk berhasil. Namun, kenyataannya sangat berbeda. Sistem ini gagal mengatasi ketidaksetaraan yang sudah ada dan malah sering memperkuatnya.
Keluarga-keluarga yang sudah kaya dan berkuasa memiliki akses ke sumber daya, jaringan, dan peluang yang tidak tersedia bagi orang-orang dari latar belakang yang kurang beruntung. Dengan demikian, meritokrasi sering kali berfungsi sebagai pembenaran bagi status quo daripada alat untuk perubahan sosial yang nyata.
Dampak Kesenjangan pada Masyarakat
Ketidaksetaraan yang terus berkembang memiliki dampak yang luas pada masyarakat. Penelitian menunjukkan bahwa kesenjangan ekonomi berkorelasi dengan berbagai masalah sosial, termasuk tingkat kejahatan yang lebih tinggi, kesehatan mental yang buruk, dan rendahnya kepercayaan sosial.
Masyarakat yang tidak setara juga cenderung memiliki tingkat partisipasi politik yang lebih rendah, karena orang-orang dari latar belakang yang kurang beruntung merasa bahwa suara mereka tidak dihargai. Ini menciptakan siklus ketidaksetaraan yang sulit dipatahkan, di mana kesenjangan ekonomi dan kesenjangan politik saling memperkuat satu sama lain.
Kisah “From Rags to Riches” dan Realitas yang Tidak Seimbang
Kisah-kisah “from rags to riches” memainkan peran besar dalam mempertahankan mitos meritokrasi. Contoh-contoh individu yang berhasil mencapai kesuksesan besar dari awal yang rendah sering digunakan untuk menunjukkan bahwa sistem ini berfungsi.
Namun, Acevedo menunjukkan bahwa kasus-kasus ini adalah pengecualian, bukan aturan. Sebagian besar orang menghadapi hambatan besar dalam mobilitas sosial, dan peluang untuk naik ke puncak jauh lebih terbatas daripada yang ingin kita percayai. Kisah-kisah ini memberikan harapan palsu dan mengalihkan perhatian dari masalah struktural yang lebih mendasar yang menghambat mobilitas sosial.
Reformasi yang Diperlukan untuk Meningkatkan Mobilitas Sosial
Mengakui bahwa meritokrasi adalah sebuah mitos menjadi langkah pertama menuju menciptakan masyarakat yang lebih adil dan merata. Reformasi yang diperlukan untuk meningkatkan mobilitas sosial mencakup peningkatan akses pendidikan, kebijakan perpajakan yang lebih adil, dan peningkatan jaring pengaman sosial.
Pendidikan harus mudah diakses secara merata oleh semua orang, terlepas dari latar belakang ekonomi mereka. Kebijakan perpajakan harus dirancang untuk mengurangi ketidaksetaraan dengan memastikan bahwa orang-orang kaya membayar bagian mereka yang adil.
Selain itu, jaring pengaman sosial yang kuat dapat membantu mengurangi dampak kesenjangan ekonomi dan memberikan dukungan bagi mereka yang membutuhkan.
Pada akhirnya, meritokrasi bukanlah sistem atau konsep yang ideal untuk memberantas ketimpangan, ini tidak lain hanyalah sebuah ilusi. Oleh karena itu, penting untuk memikirkan reformasi yang tepat dalam membangun sistem yang lebih adil dan mendukung mobilitas sosial yang sejati.